Mengembalikan Pola Pendidikan Berbasis Potensi Anak Berwawasan Budaya Lokal Nusantara

Kamis, 29 Oktober 2009, Yayasan Anand Ashram beserta Forum Pengajar, Dokter, Psikolog – Bagi Ibu Pertiwi (ForADokSi – BIP) kembali menggelar Seminar Nasional Pendidikan bertema : “Mengembalikan Pola Pendidikan Berbasis Potensi Anak Berwawasan Budaya Lokal Nusantara” dalam rangka memperingati Hari Jadi ForADokSi ke-3 dan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2009.

Lebih dari 1000 orang memadati Aula Dwi Warna, Gedung Panca Gatra, Lemhanas Jakarta yang sebagian besar adalah praktisi pendidikan, para guru, psikolog dan juga mahasiswa dari berbagai civitas akademika dari berbagai daerah di Jakarta.

Dalam Seminar Nasional ini hadir Bapak Anand Krishna, Tokoh Nasionalis Humanis Lintas Agama, dan Menteri Pendidikan Nasional yang diwakilkan kepada Direktur Profesi Pendidik, Drs. Achmad Dasuki, MM, M.Pd, serta Ketua Harian ForADokSi-BIP Ibu Dewi Juniarti dan Ketua Yayasan Anand Ashram, Ibu Maya Safira Muchtar.

Seminar Nasional Pendidikan ini secara resmi dibuka dengan pemukulan gong oleh Drs. Achmad Dasuki. Seminar ini menghadirkan pembicara dari kalangan praktisi kedokteran - dr. Made Arya Wardhana, Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia – DR. Frieda Mayam M. Siahaan, M.Ed, Psikolog dan Konsultan Program AFI (Akademi Fantasi Indosiar) – Dr. Rose Mini A Prianto, dan Artis Iszur Muchtar. Acara ini dipandu oleh Ibu Maya Safira Muchtar sebagai moderator dan Ayu Dyah Pasha sebagai MC Acara.

Dalam sambutannya, Bapak Anand Krishna sebagai inspirator dari ForADokSi mengatakan bahwa profesi guru adalah profesi paling mulia di muka bumi ini. Ketika orang tua menyekolahkan anaknya, maka secara implisit sudah bisa berarti bahwa orang tua itu telah menitipkan anaknya pada seorang guru. Jadi ketika para guru turun ke jalan, atau terpaksa harus bekerja lagi di sore hari untuk memenuhi tuntutan hidup sehari-hari, maka hal ini adalah hal yang sangat memalukan bagi orang tua, yayasan (pendidikan) dan kita semua.

Kemudian definisi kata “Edukasi atau pendidikan” ditampilkan oleh beliau dari berbagai sumber, seperti dalam kata latin “Educare” yang bisa berarti tidak menambahkan sesuatu apapun. Bagi filsuf Yunani, Socrates, definisi pendidikan adalah sesuatu yang sudah ada dan tertanam dalam diri kita. Dari Kitab Vidya (Kawi Sanskrit) dijelaskan bahwa edukasi bukanlah semata-mata pengetahuan (knowledge), tapi lebih merupakan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman pribadi (knowingness).

Dari Ki Hajar Dewantoro, Bapak Pendidikan Nasional, dijelaskan ada lima prinsip dasar pendidikan, yakni : (1) Freedom (kebebasan). Kebebasan di sini bukanlah kebebasan dalam arti kebebasan tanpa rasa tanggung jawab dan tanpa rasa hormat mendalam pada orang lain. Kebebasan seperti itu adalah Anarkis. (2) Potential (Modal Alam). Jadilah dirimu sendiri dan biarkan orang lain menjadi diri mereka sendiri. “Jadi bila seorang anak suka musik, janganlah diarahkan menjadi dokter, “ kata beliau. Jangan sampai seorang yang berbakat menjadi pedagang dijadikan politisi seperti yang terjadi di negara kita sekarang ini. (3) Culture. Kebudayaan adalah pemekaran dari kondisi mental/emosional yang merupakan hasil dari pengembangan diri dan wawasan. (4) Nationality. Kebangsaan adalah identitas kolektif kita sebagai suatu bangsa, yang mana kita tidak menggunakannya hanya untuk diri sendiri tapi bagi seluruh orang yang tinggal di negara yang sama. (5) Humanity atau Kemanusiaan adalah Satu Bumi Satu Langit dan Satu Kemanusiaan.

Sedangkan Albert Einstein pernah mengatakan bahwa adalah hal yang hampir mustahil bahwa anak-anak yang diajarkan pada jaman ini masih mampu bertanya untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka karena sistem pendidikan sekarang ini justru mengekang keingintahuan yang merupakan pemicu dari kreatifitas dalam diri mereka.

Bagi Ki Hajar Dewantoro, tujuan pendidikan sebenarnya adalah budi pekerti. Jadi Budi Pekerti bukanlah sekedar mata pelajaran dalam kurikulum, tapi budi pekerti seharusnya menjadi ‘warna’ dari setiap mata pelajaran yang diajarkan.

Dalam tradisi kita warisan Budaya Nusantara dikenal konsep yang ditulis oleh Mangkunagara IV, yakni : Sembah Rasa (Strong Psyche & Character), Sembah Cipta (Intelligence) dan Sembah Raga (Healthy). Konsep ini jauh lebih canggih dan benar daripada konsep barat yang membaginya menjadi IQ, EQ dan SQ. Bagaimana dan siapa yang bisa menilai Spiritual Quotient seseorang kecuali Tuhan sendiri? Tapi justru dalam Sembah Rasa, Sembah Raga dan Sembah Cipta adalah kata “Sembah,” yang merupakan puncak spiritualitas seseorang. Jadi spiritual sebenarnya tak dapat dipisahkan dari rasa, pikiran maupun raga seorang manusia.

Jadi akhir dari Pendidikan adalah pengembangan diri kepribadian seorang manusia secara maksimal. Seseorang yang sudah mengembangkan dan memberdayakan dirinya pada titik maksimal akan otomatis mempunyai keinginan untuk melayani orang lain tanpa adanya motif pribadi yang nantinya akan mengantar dirinya pada kesadaran diri dan penemuan arti kehidupan ini. Pola Pendidikan di Indonesia haruslah mengacu pada tujuan yang luhur ini yang disesuaikan dengan potensi kemampuan seorang anak.

Dalam seminar ini timbul beberapa pertanyaan dari peserta tentang apa sih budaya lokal Nusantara itu ? Bapak Anand Krishna menjelaskan bahwa Pancasila, menurut Ki Hajar Dewantoro dan juga Ir. Soekarno adalah puncak unggulan-unggulan nilai-nilai luhur yang terdapat pada setiap tradisi kebudayaan suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Ke-5 nilai dari Pancasila ini adalah saripati budaya bangsa Indonesia. Bahkan Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa sebaiknya Pancasila jangan dijadikan asas politik, tapi menjadi dasar budaya. Sayangnya, di kemudian hari, beliau menjadikan Pancasila sebagai 7 bahan-bahan pokok indoktrinasi dan dilanjutkan Presiden Soeharto sebagai P4.

Keluhuran dan ketinggian budaya Nusantara bisa dilihat dari banyak hal. Indonesia adalah pemilik orkestra musik terlengkap di dunia. Sumber daya alamnya adalah ke-2 terkaya di seantero dunia. Ketika di dunia Arab, mereka masih saling jarah-menjarah, armada dagang laut Sriwijaya sudah mengekspor produk lokal sampai ke Madagaskar.

Sistem pengairan/irigasi subak yang berada pada tanah-tanah terasering adalah manajemen air dalam sistem penanaman yang mungkin paling efisien. Sistem ini hanya terdapat di Indonesia karena dulu wilayah Indonesia adalah perbukitan, sehingga untuk menyiasati penanaman tumbuhan pada tanah-tanah terasering, maka terciptalah sistem irigasi subak. Ini adalah salah satu bukti tingginya kebudayaan bangsa kita.

Di India, dulu, ada cerita bahwa siapapun yang berkunjung ke wilayah nusantara (jawa) biasanya tidak pernah kembali ke India lagi. Dan, bila ada yang kembali, maka orang itu akan menjadi kaya raya di mana bahkan hartanya tidak akan habis dimakan sampai 7 turunan. Pada masa yang sama, orang-orang Inggris bercerita bahwa mereka tidak pernah melihat orang miskin di India. Jadi bisa dibayangkan seberapa kaya, kekayaan wilayah nusantara digambarkan oleh masyarakat dunia waktu itu. Dan rekomendasi para ahli di Inggris waktu itu untuk menaklukkan India adalah dengan menyiarkan berita bohong kepada masyarakat India bahwa mereka miskin dan bodoh. Hancurkan kepercayaan diri seseorang dan orang itu akan mudah dikuasai. Hal yang sama juga berlaku pada sebuah negara.

Jadi nenek moyang orang Indonesia bukanlah masyarakat biadab seperti yang sering di”tuduh”kan dan di”siar”kan oleh para penyiar agama impor yang sedang mencari umat di sini. Indonesia jelas adalah wilayah peradaban tinggi yang mempunyai kebudayaan tinggi jauh melampaui peradaban dan kebudayaan di mana agama impor itu berasal.

“Jadi, siapapun kau. Apapun agamamu, apapun suku bangsamu, kita semua orang Indonesia!” demikian pekik Bapak Anand Krishna mengakhiri pemaparan di seminar ini.

Upaya mendegradasi kebudayaan Nusantara, yang merupakan akar dari kebudayaan Nasional Indonesia, adalah upaya pembodohan sistematis yang dilakukan pihak-pihak yang berkepentingan pada sumber daya alam Indonesia agar mudah dikuasai karena dengan begitu masyarakat Indonesia percaya bahwa mereka tak berbudaya, biadab dan bodoh, maka hancurlah kepercayaan diri mereka dan dengan mudah dipecah-belah (terutama dengan issu agama) untuk kemudian dikuasai.

Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan berlangsungnya Seminar Nasional ini, ForADokSi-BIP juga kehilangan Ketua Umumnya, yakni Dr. Bambang Setiawan, Sp.B., Sp.B.S. yang meninggal dunia.



Bapak Anand Krishna di Seminar Nasional Pendidikan ForADokSi-BIP 29 Oktober 2009